RSS

Sejarah Pemberlakuan KUHP Di Indonesia

Jauh sebelum bangsa Eropa menjajaki Bumi Pertiwi, Indonesia sudah mengenal hukum dan telah memberlakukan hukum itu sendiri. Pada masa itu, hukum yang berlaku adalah hukum adat. Hukum adat yang berlaku tersebut sangat besar dipengaruhi oleh agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat di daerah Nusantara. Seperti di Aceh dan Makassar, hukum adat yang berlaku mengalami persentuhan nilai-nilai Islam misalnya, jika seseorang terbukti mencuri, maka orang tersebut akan dipotong tangannya. Begitupun di Bali, hukum adat yang berlaku juga mengalami persentuhan dengan nilai-nilai agama Hindu.Hukum adat yang diterapkan pada masa itu tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Pemberlakuan hukum berlangsung secara lisan dan turun temurun. Peraturan lisan tersebut dijaga melalui cerita-cerita dan perbincangan. Namun masyarakat tetap menaati serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Tahun 1602, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) datang ke Indonesia. VOC merupakan kongsi dagang Belanda. Oleh Pemerintah, mereka diberikan hak-hak istimewa yang berbentuk hak Octrooi Staten General yaitu kekuasaan wilayah Tanah Jajahan, memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Sebagai sindikat dagang yang mendapat keistimewaan, VOC memiliki kesempatan untuk memperluas wilayah jajahannya di Indonesia. VOC kemudian menerapkan aturan-aturan hukum   yang mereka bawa dari Belanda kepada penduduk Pribumi sebagai usahanya untuk memperbesar keuntungan.

VOC membuat peraturannya dalam bentuk pelakat. Setelah di umumkan, peraturan tersebut langsung dilepas. Tak satupun yang tinggal menjadi arsip sehingga tidak diketahui mana peraturan yang masih berlaku dan yang tidak. Berdasarkan perihal tersebut, pada Tahun 1642 VOC mengumpulkan kembali peraturan-peraturan yang telah dibuatnya. Pengumpulan kembali peraturan ini dinamakan Statuten Van Batavia atau Statuta Batavia. Meskipun peraturan-peraturan tersebut telah terkumpul, Statuta Batavia belum dapat dikatakan kodofikasi hukum lantaran peraturan tersebut belum tersusun secara sistematis.

Peraturan-praturan yang dibuat oleh VOC tersebut tentunya berdampak pada sistem hukum adat yang telah berlaku sebelumnya. Hukum adat mulai dicampuri oleh VOC dan perlahan-lahan terkikis hingga sama sekali tidak berlaku. Alasan VOC melakukan hal tersebut lantaran mereka menganggap bahwa hukum adat terkadang berbenturan dengan peraturan mereka. Misalnya, sesuatu yang dianggap dalam hukum adat  tidak salah, namun menurut VOC tindakan tersebut salah dan harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Berawal dari campur tangan inilah hukum pidana bermula. Lahirnya Pepakem Cirebon menjadi landasan para hakim dalam menetapkan pidana bagi setiap orang yang bersalah. Diakhir abad ke-17, VOC dibubarkan oleh pemerintah Belanda lantaran keberadaan mereka di Tanah Jajahan tak mampu lagi memberikan keuntungan financial bagi Kerajaan.

Setelah VOC hengkang dari Indonesia, giliran Inggris yang mengambil alih kekuasaan. Inggris tidak mengubah peraturan yang telah dibuat sebelumnya bahkan disebut-sebut Gubernur Jendral Raflles yang memimpin pada masa itu sangat menghormati hukum adat. Pada tahun 1810, Ingrris akhirnya angkat kaki dari Indonesia.
Hengkangnya Inggris membuat Belanda kembali menjajaki Tanah Jajahannya Indonesia.  Peraturan terhadap koloni tidak lagi diberikan kepada kongsi dagang melainkan dipegang langsung oleh Kerajaan Belanda. Raja memiliki kekuasaan mutlak terhadap Negeri Jajahan.  Meskipun demikian, kekuasaan Raja tetap diatur dalam Konstitusi. Implementasinya adalah dengan mengangkat Gubernur Jendral di daerah Jajahan. Hal ini diatur dalam Besluiten Regering Pasal 36 Undang-Undang Negeri Belanda. Dengan demikian Belanda menganut sistem pemerintahan Monarki Konstitusional. Tahun 1848, sistem pemerintahan Belanda berubah menjadi Monarki Parlementer. Hal ini terjadi lantaran pihak Parlemen Belanda mulai mencampuri urusan Pemerintahan dan Perundang-Undangan di wilayah Jajahan. Raja tidak lagi berkuasa penuh terhadap Negeri Jajahan melainkan segala peraturan yang ditetapkan diatur dalam Perundang-Undangan Parlemen.

Konflik yang terjadi di Negeri Belanda sangat berpengaruh besar terhadap Negara Jajahannya Indonesia dalam hal peraturan hukum. Berdasarkan Pasal 61 ayat 1 dan 2 Indische Staatregeling, Undang-Undang akan menentukan susunan Negara Hindia Belanda. Hal ini tentunya akan mempertegas sistem hukum selanjutnya.  Lahirnya Pasal 163 Indische Staatregeling tentang pembagian penduduk Indonesia serta hukum yang berlaku mempertegas pemberlakuan Hukum Pidana yang sudah diberlakukan sejak 1 Januari 1918 lalu.

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia selama 3,5 tahun, mereka tidak mengubah sistem Perundang- Undangan yang telah dibuat Belanda sebelumnya. Jepang memberlakukan peraturan tersebut dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Undang-undang Osamu Seirei pertama kali dieluarkan Nomor 1 tahun 1942. Dalam pasal 3 Jepang menyatakan bahwa peraturan serta Perundang-Undangan yang berlaku sebelumnya tetap diakui sah untuk sementara waktu asal tidak bertentangan dengan Pemerintahan Militer.

Berawal dari Osamu Seirei inilah kemudian pemerintah Indonesia menetapkan hukum pidana yang lebih signifikan untuk diberlakukan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 Pasal 1 yang berbunyi: Segala badan-badan Negara dan peraturan-praturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tangga 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut. Pasal 2 berbunyi: Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.

Penetapan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan dasar yuridis diberlakukannya Hukum Pidana Kolonial sebagai hukum resmi di Indonesia. Maka dengan itu keluarlah UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 1 jelas dituliskan bahwa Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 Menetapkan bahwa peraturan-peraturan Hukum Pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan Hukum Pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Maka dengan ini resmilah dibentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang kita kenal dengan KUHP.

Diatas kertas Indonesia memang merdeka, namun secara fisik mereka masih berjuang mengusir Belanda yang masih belum selesai dengan Kolonialismenya. Disinilah terjadi dualisme KUHP. Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undangnya dan Pemerintah Kolonial Belanda juga membuat Undang-Undangnya. Maka terjadilah penerapan dua Undang-Undang yang berlaku bagi bangsa Indonesia hingga  Tahun 1949 saat Indonesia menjadi Negara Serikat.  Dualisme KUHP yang berlaku di Indonesia baru berakhir setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang : Menyatakan berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wiayah Republik Indonesia dan mengubah Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam lembar penafsiran dituliskan, Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis kitab Undang-Undang hukum Pidana , yakni kitab Undang-Undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht Voor Indonesia (kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini, maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS