Sebuah Tarian Ketangkasan
Marraga merupakan sebuah permainan olah bola yang mengadu ketangkasan, kelincahan dan kecekatan. Dahulu permainan ini hanya dimainkan oleh kalangan bangsawan-bangsawan Bugis pada saat upacara-upacara resmi kerajaan. Berdasarkan sejarah resmi, permainan Marraga berasal dari Malaka. Namun oleh W.Kaudren dalam bukunya Games And Dance In Celebes, 1927 secara tegas meragukan kalau permainan ini berasal dari Malaka. Menurut Kaudren, masyarakat tradisional Malaka sama sekali tidak mengetahui permainan ini. Kaudren lebih meyakini asal muasal permainan Marraga datang dari daerah pantai barat Sumatera yaitu Kepulauan Nias.
Seiring perkembangan zaman, Marraga tidak lagi dimainkan oleh orang-orang Bangsawan Bugis, melainkan permainan ini sudah meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Istilah Marraga adalah bahasa Bugis yang dalam bahasa Indonesia berarti bersepak raga. Kata Marraga diambil dari tujuan permainan Marraga itu sendiri yakni siraga-raga yang artinya saling menghibur. Dahulu jika seorang pemuda belum pandai Marraga maka ia dianggap belum mampu membina hubungan rumah tangga. Seorang yang pandai Marraga akan menjadi kebanggaan tersendiri dan dikagumi oleh masyarakat sebab ia turut serta meningkatkan status sosial seseorang.
Marraga umumnya dimainkan oleh laki-laki baik remaja maupun dewasa yang berjumlah lima sampai lima belas orang. Permainan yang mengolah ketangkasan serta kecekatan ini dilakukan di atas sebidang tanah datar dengan megenakan pakaian adat. Diatas tanah tersebut dibuat sebuah garis lingkaran dengan garis tengah minimal enam meter. Peralatan yang digunakan adalah Raga. Raga merupakan sebuah bola yang terbuat dari rotan. Rotan ini dibelah-belah kemudian diraut secara halus lalu dianyam berbentuk sebuah lingkaran. Pada umumnya ukuran Raga berdiameter 15 Cm. ketika Marraga dimainkan, di pinggir arena pertunjukan para penabu gendang turut serta mengiringi permainan tersebut agar pertunjukan menjadi semakin menarik.
Dalam Marraga, seorang pemain jika menerima raga dari pemain lain harus melambungkan kembali raga tersebut agar jangan sampai jatuh ke tanah. Cara melambungkan raga adalah dengan menggunakan kaki, bahu, dan dada. Tidak boleh memegang raga yang sedang dimainkan. Seseorang yang dianggap mahir memainkan raga dalam istilah bugis dikatakan niak sempa’na atau niak belona. selain dapat melambungkan raga dengan lincah dan cekatan, juga dapat mempertahankan raga agar tidak jatuh ke tanah. Kemampuan yang dimiliki ini dalam istilah bugis dikatakan bajiki anrong sempa’na yaitu pintar mengambil raga, disiplin dan mampu menghidupi suasana bermain dan Caraddeki Anggalle Raga yaitu sepakannya bervariasi dan sulit ditiru pemain lain. Seorang pemain tidak boleh memonopoli permainan. Setiap pemain akan mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya masing-masing dalam mengolah raga. Pemain yang menjatuh raga ke tanah akan dikeluarkan dari lingkaran permainan. Setelah itu barulah Marraga dilanjutkan kembali.
Permainan Marraga mengandung nilai kecermatan, kerja keras, kerja sama, demokrasi dan sportifitas. Menjaga dengan menggunakan berbagai cara agar raga tidak jatuh ke tanah menggambarkan nilai kerja keras dan kerja sama yang padu. Sementara melambungkan dan menyepak raga ke sasaran yang dituju agar ritme permainan terjaga menggambarkan nilai kecermatan. Tidak adanya tindakan monopoli yang dilakukan para pemain merupakan simbol demokrasi dalam permainan. Pemain yang dengan lapang dada keluar dari arena permainan lantaran ia telah menjatuhkan raga ke tanah menggambarkan sikap sportivitas para pemain. Marraga hingga saat ini tetap terjaga kelestarianya. Pertunjukan Marraga baru dilaksanaka pada saat perayaan adat ataupun perayaan hari-hari besar.