RSS

Makkate'

Ritual Khitanan Adat Bugis

Makkatte merupakan istilah masyarakat bugis untuk sebuah ritual khitanan bagi perempuan. Makkatte sendiri adalah bagian dari ritual upacara daur hidup orang-orang bugis. Pada umumnya,pelaksanaan  Makkatte biasa dilakukan pada saat acara perkawinan dilangsungkan, biasanya beberapa hari sebelum tibanya pelaksanaan akad nikah. Tujuan dari Makkatte’ itu sendiri lebih kepada pembersihan diri bagi anak perempuan. 

Sebagai sebuah ritual kebudayaan, tradisi Makkatte’ sangat erat kaitannya dengan ritual keagamaan. Bagi masyarakat bugis,  Makkatte’ adalah sebuah peroses pengislaman. Seorang  anak perempuan yang sudah menjalani ritual katte’ atau khitan, maka ia telah sah menjadi agama islam.

Ritual adat Makkatte’ pada umumnya dilakukan ketika  anak perempuan telah menginjak usia 5-7 tahun. Proses pelaksanaan ritual ini dilakukan oleh seorang sanro’ atau dukun  perempuan yang ahli dan telah dipilih oleh keluarga. Selanjutnya sanro’ atau dukun tersebut akan meminta kepada keluarga yang akan dikhitan untuk menyediakan beras. Beras tersebut disimpan dalam sebuah wadah. Kemudian diatasnya disimpan satu buah kelapa yang masih utuh dan telah dikupas sabuk dan tempurungnya, lalu disebelah kelapa,  disimpan gula merah. Sanro’ juga akan meminta  untuk disediakan ayam kampung.

“Sebelum proses Makkatte’ dimulai, terlebih dahulu dilaksanakan ritual rippabbajui  yaitu pemasangan baju bodo untuk pertama kalinya pada anak perempuan”. Terang Mama Ummu, sapaan akrab ibu Ummu Tunru yang mejadi narasumber kami. Pertama-tama anak perempuan tersebut dimandikan kemudian dituntun untuk mengambil air wudhu. Ritual ini dimaksudkan agar anak tersebut terhindar dari musibah. Dalam istilah lain disebut penolak bala. Setelah itu barulah proses rippabbajui dimulai.  Rippabbajui dilakukan dengan menggunakan tujuh lapis baju bodo. Dalam ritual ini, disyaratkan untuk menggunakan baju bodo yang berwarna-warni, namun jika sekiranya hal tersebut tidak memungkinkan, maka ritual ini bisa menggunakan satu macam warna saja. selanjutnya dilakukan pemasangan sarung lipasa’be dibagian pinggulnya hingga menutupi ujung kaki. Sarung lipasa’be adalah sarung khas masyarakat bugis. Semua ritual ini dilakukan oleh sanro’ yang dipercayakan.

Anjuran pemakaian baju bodo sebanyak tujuh lapis dimaksudkan agar anak yang dikhitan tersebut dapat Sukses nantinya di masa depan. Baju bodo yang dikenakan adalah baju Bodo orang dewasa yang terbuat dari sutra. Jika sebelum proses Rippabbajui dilaksanakan, boleh-boleh saja anak tersebut dipakaikan baju Bodo tetapi bukan yang berbahan sutra. Nanti ketika acara Rippabbajui dimulai barulah ia mengenakan yang berbahan sutra. Proses ini dilakukan oleh salah seorang keluarga yang telah sukses dalam hidupnya dan baju Bodo yang akan dipakaikan ke anak perempuan yang akan di Katte’ adalah baju Bodo miliknya sendiri. Ritual ini bertujuan agar kesuksesan akan menurun kepada anak perempuan tersebut.   

Sementara, pemakaian baju Bodo yang berwarna-warni  mengacu kepada pelesatarian nilai historis baju bodo itu sendiri. Pada zaman kerajaan dulu, ada aturan yang berlaku terhadap masyarakat untuk penggunaan warna baju bodo. Aturan warna tersebut ditandaskan pada usia pemakainya dan strata sosial penggunanya misalnya, baju bodo berwarna ungu dipakai oleh para janda, yang berwarna merah darah dikenakan untuk wanita yang berumur 17 hingga 25 tahun, baju bodo berwarna hijau digunakan oleh para putri bangsawan, baju bodo berwarna jingga dipakai oleh anak perempuan yang berusia 10 tahun, dan warna putih untuk para inang dan sanro’.  Seiring berkembangnya zaman, aturan pemakaian baju bodo perlahan terkikis dan hingga saat ini dalam kebudayaan masyarat bugis aturan itu sudah tidak berlaku. 

“Setelah pemakaian baju bodo sebanyak tujuh lapis dan pemasangan sarung lipasa’be selesai”, lanjut ibu Ummu,  anak perempuan yang akan dikhitan dinaikkan keatas tempat tidur. Namun sebelum itu, terlebih dahulu tempat tidur  ditata berdasarkan ritual adat. Di atas tempat tidur disediakan tiga susun bantal kepala. Kemudian diatas bantal tersebut diletakkan sarung sebanyak tujuh lapis. Tidak ada persyaratan khusus untuk sarung yang digunakan menutupi bantal. Tetapi pada umumnya, orang bugis tetap memilih menggunakan sarung lipasa’be sebagai lapisannya. Selanjutnya diatas lapisan sarung, diletakkan pucuk daun pisang yang masih muda sebanyak tiga lembar.  

Seorang anak perempuan yang akan dikatte’ atau dikhitan kemudian didudukkan diatas bantal yang dilapis sarung dan pucuk daun pisang tersebut. Berdasarkan ritual adat, ketika anak perempuan telah duduk dengan sempurna diatas bantal, maka ibunya harus duduk tepat dibelakang putrinya untuk mendampingi. Jika ibunya telah tiada, dapat digantikan oleh salah satu dari kedua orang tua sang ibu.

Proses Makkatte’ dilakukan dengan cara memotong sadikit klitoris pada bagian kelamin perempuan oleh sanro’. Alat yang digunakan untuk melakukan ritual ini yaitu silet, pisau dan gunting. Namun diantara alat tersebut, yang paling banyak dilakukan dengan menggunakan silet.  Potongan tersebut kemudian dibungkus dengan kapas lalu disimpan ditempat yang tinggi didalam rumah. Proses penyimpanan di tempat yang lebih tinggi dalam istilah bugis disebut Tandreang. Kemudian, setelah proses penyimpanan selesai, selanjutnya dilaksanakan acara melepas ayam. Anak perempuan yang telah di Katte’ memegang seekor ayam kampung yang telah disediakan lalu melepaskannya kedepan pintu.  setelah itu, oleh ayahnya anak perempuan tersebut digendong dan dibawa menuju pintu masuk rumah dan  diangkat ke atas sebanyak tiga kali.

Ada makna yang tersirat dari ritual menyimpan potongan klitoris di tempat yang tinggi atau mengangkat anak keatas setelah dikatte’. Menurut kepercayaan adat bugis, ketika dewasa nanti, diharapkan anak perempuan mereka memiliki pemikiran yang tinggi, berwawasan luas, dan memiliki budi pekerti yang luhur serta taat beribadah. Kepercayaan ini tetap bertahan dan masih diyakini hingga saat ini.

 Sementara dalam kebudayaan Makassar, khitanan yang dilakukan untuk anak perempuan disebut Makkattang. Prosesnya yakni memotong sedikit kelentit pada bagian kelamin perempuan dengan menggunakan pisau. Ritual ini lebih identik dengan akil balik. Umumnya dilakukan pada anak perempuan yang berusia 7 – 10 tahun. Proses Makkattang tidak jauh berbeda dengan ritual Makkatte’ Masyarakat Bugis.

     

    
     

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS